JAKARTA, Beritaone.id – Alokasi dana sawit yang tidak adil pada sektor kelapa sawit dan pemberian subsidi bagi segelintir korporasi sawit besar tidak lepas dari pengaruh oligarki dan orang kuat dalam bisnis sawit dan biodiesel.
Pengaruh oligarki dan orang kuat dalam industri biodiesel tergambarkan dalam struktur komite pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BDPKS) yang menempatkan perwakilan kelompok korporasi besar sebagai unsur professional yang memiliki kekuatan untuk mengatur serta mengontrol penggunaan dan pengalokasian 137,283 triliun dana sawit yang dikelola BPDPKS sejak tahun 2015 hingga tahun 2021.
Sementara perwakilan petani yang menguasai 41 persen kelapa sawit Indonesia, dalam struktur BPDPKS hampir tidak dilibatkan.
Lebih lanjut, dalam catatan akhir BPDPKS tahun 2021, menunjukkan alokasi dana sawit dalam periode tahun 2015-2021 untuk subsidi biodiesel mencapai Rp 110,05 Triliun (80,16 persen).
Sementara alokasi untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebesar Rp 6,59 triliun (4,8 persen), program penelitian dan pengembangan Rp 389,3 miliar, untuk program pengembangan SDM sebesar Rp 199,01 miliar, lantas sebesar Rp 21,1 Miliar untuk program Sarana dan Prasarana dan sebesar 318,5 miliar untuk program promosi, advokasi dan kemitraan sawit.
Diungkapkan, Penulis Buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat Dalam Bisnis Biodiesel, Ferdy Hasiman, salah satu inti persoalan yang terjadi dalam program biodiesel terdapat pada sisi pembagian kuota yang menunjukkan terjadinya kolusi.
Lebih lanjut Ferdy mengatakan bahwa industri sawit berbeda dengan industri besar lainnya, dimana monopoli perusahaan besar tidak terlalu besar. Dari aspek kepemilikannya lahan, sebesar 51 persen dimiliki oleh grup grup besar nasional dana sing dan 7 persen oleh BUMN dan 40 persen lahan dimiliki petani sawit (tahun 2018). Begitu juga dari aspek produksi dan produktivitas menunjukkan bahwa petani sawit memiliki andil untuk mendorong produksi CPO nasional dan pertumbuhan ekonomi di tanah air.
“Jika diperhatikan secara keseluruhan, perkebunan sawit rakyat bisa menjadi tumpuan penerimaan negara dan menjadi penopang disektor hilir dalam mendorong biodiesel berkelanjutan. Sehingga sawit untuk pengolahan biodiesel semestinya bukan hanya dipasok dari produsen biodiesel yang sudah ditentukan kuotanya oleh negara tetapi juga dari petani swadaya,” katanya, Senin (31/1/2022).
Namun realitanya nasib petani sawit dan korporasi sangat berbeda, kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit dan selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan politik, dan ini yang disebut kekuatan oligarki dan bisnis orang kuat. Pemerintah hanya memberikan kuota kepada 18 perusahaan sawit.
Sementara ruang bagi petani sawit untuk menjual ke korporasi yang mendapat alokasi tersebut sampai sekarang sangat tidak jelas. Jadi dalam proses lelang juga tidak ada transparansi dalam prosesnya hanya ada penunjukan langsung untuk mendapatkan kuotanya, sehingga kolusinya terjadi dalam proses tersebut.
“Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak memberi kuota kepada petani sawit dan perusahaan-perusahaan kecil, dan jawaban pemerintah karena infrastruktur, tapi faktanya masih banyak perusahaan yang mendapat kuota belum memiliki pabrik biodiesel, begitu ada program biodiesel baru mereka membangun pabrik yang diproleh dari dana BPDPKS,” kata Ferdy.
lebih lanjut tutur Ferdy, program biodiesel juga masih menyisahkan persoalan di lapangan terutama dalam pemakaian biodiesel masih ada hambatan dalam distribusi di lapangan. Di sektor hulu, semakin meningkat proyek biodiesel maka lahan yang akan diambil akan semakin luas yang berdampak pada deforestasi.
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (PKS) Nasional, Mansuetus Darto sekaligus Penulis Buku mengungkapkan, beberapa fakta yang dapat menjawab ada apa dibalik program biodiesel. Dalam aspek regulasi, penggunaan dan pemanfaatan dana BPDPKS untuk biodiesel patut dipertanyakan karena tidak memiliki payung hukum yang kuat terutama dalam Undang-Undang Perkebunan yang hanya mengamanahkan penggunaan dana sawit untuk petani.
Darto juga mengutarakan, pengaruh oligarki dan orang kuat dalam bisnis biodiesel dapat dilihat dalam penentuan alokasi prioritas penggunaan dana sawit yang ditentukan oleh komite pengarah dalam BPDPKS. Dimana keanggotaan komite pengarah memasukkan keterwakilan dari kalangan pengusaha sawit yang juga beroperasi pada bisnis biodiesel sebagai tenaga profesional.
Fakta ini menunjukkan bahwa pengaruh oligarki dan orang kuat dalam Komite Pengarah BPDPKS turut mengontrol penggunaan dana sawit yang lebih besar untuk subsidi biodiesel.
Fakta lain menunjukkan, fasilitasi negara dalam hal ini pemerintah mengambil kebijakan pungutan dana dari ekspor sawit yang pada akhirnya sebagian besar untuk subsidi biodiesel menunjukkan pengaruh dari oligarki. Padahal kebijakan pungutan yang berubah ubah dan terus meningkat mengakibatkan kerugian pada harga sawit di tingkat petani.
Selain itu, pengaruh oligarki dan orang kuat dalam pengambilan kebijakan negara juga turut menghambat inklusifitas petani dalam pengembangan biodiesel dan terutama rantai pasok biodiesel. Hal ini juga terjadi pada struktur BDPKS yang minim keterwakilan petani.