BeritaOne.id - Setidaknya ada dua dampak besar. Kerugian yang dialami masyarakat dan terganggunya penerimaan pendapatan negara.
Sistem administrasi pajak Coretax Administration System yang wajib per Januari 2025 digunakan untuk semua administrasi pajak mengalami gangguan teknis parah. Permasalahan tersebut mengakibatkan terganggunya semua kegiatan administratif perpajakan, mulai pelaporan maupun pembayaran se-Indonesia.
Melihat kondisi tersebut, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Taufiq Adiyanto mengkritisi tidak siapnya sistem Coretax yang padahal sejak 2018 sudah dicanangkan dalam Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan. Tidak berfungsinya sistem Coretax berdampak tersendatnya semua proses perpajakan mulai proses pelaporan hingga pembayaran.
“Dampak ini luar biasa besar. Mungkin orang melihatnya hanya IT things atau hal-hal teknikal tapi di luar itu efek dominonya kemana-mana,” ujar Taufiq yang juga pengajar hukum perpajakan tersebut.
Setidaknya Taufiq menilai ada dua dampak besar. Pertama, kerugian yang dialami masyarakat. Menurutnya, tidak berjalannya proses administrasi perpajakan ini mengganggu dunia usaha. Pasalnya, terdapat pelaporan-pelaporan pajak yang rutin dilakukan wajib pajak baik perusahaan maupun pengusaha kena pajak (PKP) tidak terlaksana akibat gangguan sistem tersebut.
Terlebih lagi, terdapat ancaman sanksi bagi wajib pajak yang tidak membayar dan menyerahkan laporan pajak. Misalnya, ada sanksi sebesar 1 persen dari Dasar Pengenaan Pajak bagi PKP yang tidak membuat dan melaporkan faktur pajak secara tidak benar.
“Momok itu PPN sanksi besar 1 persen dari dasar pengenaan pajak apalagi transksi jumbo pasti terasa,” ujarnya.
Selain itu, dengan tidak berfungsinya layanan Coretax dikhawatirkan mengurangi kepercayaan publik khususnya investor asing. Taufiq menegaskan investor asing sangat memperhatikan administrasi perpajakan di suatu negara yang menciptakan keadilan. Masyarakat secara umum juga dikhawatirkan turun minatnya melaporkan pajaknya dengan adanya masalah Core Tax.
Kedua, terganggunya penerimaan negara. Belum adanya kepastian dapat digunakannya Coreax serta tidak jelasnya alternatif metode pelaporan dan pembayaran pajak membuat penerimaan negara dalam periode tersebut terganggu.
“Lalu, efeknya ke pemerintah jelas turunkan penerimaan negara,” tegasnya.
Dengan kondisi tersebut, Taufiq yang juga pengurus Indonesian Center for Tax Law (ICTL) FH UGM mengimbau pemerintah segera memberi kepastian hukum mengenai alternatif dan penghapusan sanksi. Hal ini diperlukan karena kesalahan bukan pada wajib pajak melainkan pemerintah.
“Sehingga harus ada alternatif lain di masa transisi ini diperbolehkan ke sistem awal, bahkan di beberapa tempat mengusulkan manual dulu saja untuk hindari sanksi tadi,” ujar Taufiq yang juga dosen hukum perpajakan itu.
Terintegrasi satu sistem
Di tengah kekurangan tersebut, Taufiq sendiri mendukung penerapan Coretax yang mampu mengintegrasikan sistem pajak secara digital. Dia menilai berbagai negara maju seperti Australia sudah menerapkan sistem administrasi pajak terintegrasi secara efektif dan efisien.
Dia mencontohkan dengan Coretax semua dokumen administrasi pajak seperti faktur, pengurusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), e-filing dapat diakses melalui satu aplikasi. Selain itu, wajib pajak juga dapat mengakses bukti potong yang berada di pihak ketiga.
Fitur lain yang perlu diperhatikan yakni Deposit Pajak yang berfungsi layaknya dompet digital atau e-wallet. Dengan Deposit Pajak tersebut, maka setiap kelebihan atau kekurangan pembayaran pajak didepositkan dalam fitur tersebut.
Melihat vitalnya fungsi Coretax, Taufiq menekankan pentingnya pemerintah menjamin kerahasiaan wajib pajak. Lantaran selain data pribadi, terdapat juga kondisi finansial perusahaan. Untuk menjamin keandalan layanan tersebut, koordinasi kementerian dan lembaga harus diperkuat serta peningkatan kualitas sumber daya manusia.
“Biasanya ada ego sektoral, masing-masing punya kepentingan, ketika isu-isu koordinasi ini bisa diantisipasi dengan baik maka dapat bermanfaat khususnya buat Direktorat Jenderal Pajak,” jelasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyatakan bahwa DJP berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada wajib pajak selama masa transisi. Dia memahami dalam implementasi sistem baru Coretax masih terdapat tantangan teknis di lapangan.
“Oleh karena itu, DJP memberikan masa transisi khusus untuk penerapan Coretax, sebagaimana DJP juga memberikan masa transisi saat penerapan tarif PPN 11 persen selama tiga bulan," ujar Suryo Utomo.
Dia memastikan DJP tak akan beban tambahan bagi wajib pajak berupa sanksi administrasi atas keterlambatan atau kesalahan dalam pembuatan faktur pajak yang disebabkan oleh kendala teknis dalam implementasi Coretax. Menurutnya masa transisi belum dapat dipastikan waktunya, karena membutuhkan pengkajian lebih dalam.
“Nantinya, masa transisi ini akan diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) guna memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak,” katanya.**BrOne-05