JAKARTA - Antre berjam-jam bukan lah kegiatan yang langka bagi warga Kuba. Sejak inflasi dan krisis terus memburuk, warga Kuba harus mengantre hingga belasan jam untuk bertahan hidup. Mulai dari membeli roti, air minum, sampai pasta gigi, semua warga negara di Karibia itu harus mengantre.
"Saya hampir menghabiskan malam saya di sini hanya untuk membeli sesuatu. Ini tak mudah, penderitaan yang besar cuma untuk dapat makanan," kata seorang pembeli di Havana, Edelvis Miranda (47), kepada AFP pekan lalu.
Ibu rumah tangga itu mengantre sejak sekitar pukul 01:00 dini hari waktu setempat dan baru mendapatkan dua liter minyak, dua paket ayam, beberapa daging cincang dan detergen 11 jam kemudian.
"Itu sepadan, karena saya menemukan segalanya. Sekarang istirahat, dan lalu kembali ke antrean lagi," kata dia saat jalan menuju rumahnya.
Kuba mencatat rata-rata inflasi sebesar 70 persen pada 2021. Cadangan pemerintah yang minim membuat Kuba harus mengurangi impor secara drastis.
Padahal, impor makanan bisa mencapai sekitar US$2 miliar atau Rp2 triliun per tahun sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Mei lalu, pemerintah mengatakan impor berada di level terendah sejak 2009. Biasanya barang impor mencakup 80 persen kebutuhan rakyat Kuba.
Kekurangan impor itu pun mempengaruhi seluruh warga orang, tak terkecuali bagi orang kaya di Kuba. Mereka tetap harus mengantre panjang, meskipun sering membayar orang lain atau calo untuk mengantre.
Polisi kerap dikerahkan demi menjaga ketertiban antrean yang membentang di beberapa blok jalanan Kuba.
Selain mengantre, warga juga tak bisa membeli barang yang mereka butuhkan sesuka hati.
Sebuah pasar di ibu kota menempel pengumuman soal barang apa saja yang tersedia di hari itu satu jam sebelum buka.
Pada hari itu, pasar tersebut mengumumkan ada lima barang yang mereka jajakan. Hal tersebut membuat sekitar 400 orang yang sudah mengantre dari dini hari bersorak gembira lantaran biasanya tak banyak variasi barang yang dijual pasar itu dalam sehari.
Nahasnya, dari sekitar 400 orang yang mengantre, pasar hanya menyediakan pasokan untuk 250 orang.
"Ini tidak bermartabat," gerutu Rolando Lopez (66), seorang pensiunan yang sudah mengantre dan tak bisa masuk.
Puluhan orang yang tak beruntung itu dengan cepat membentuk antrian belanja di hari berikutnya.
Mereka menunjuk "penjaga" malam untuk memastikan tidak ada yang kehilangan tempat mereka.
"Ini adalah perjuangan sehari-hari di Kuba. Apa lagi yang bisa Anda lakukan?" tanya seorang ibu rumah tangga lainnya Maria Rosabal.
Beberapa toko di Kuba saat ini hanya menerima mata uang asing. Namun dolar Amerika Serikat bukan lagi alat pembayaran yang sah dan hanya bisa diperoleh di pasar gelap.
Toko-toko ini memiliki persediaan yang lebih baik daripada yang berbasis peso, tetapi hanya sedikit orang Kuba yang bisa mengunjunginya.
Biasanya toko hanya memiliki dua atau tiga produk pada waktu tertentu, atau bahkan tidak sama sekali.
Terkadang, orang mengantri tanpa mengetahui produk apa yang dapat mereka beli di hari itu.
Produk-produk tertentu sering kali hilang sepenuhnya dari rak untuk jangka waktu tertentu, seperti susu.
Ketika barang-barang itu muncul kembali, mereka biasanya terbatas di toko mata uang asing, dan terjual habis dalam beberapa jam.
Kekurangan bukanlah hal baru di Kuba. Ketika salah seorang warga memotong antrean, biasanya mereka akan dicaci.
"Kami mengantre selama 60 tahun, dan Anda masih tidak tahu caranya?"
Demi mengurangi dampak inflasi dan krisis, pemerintah di Havana terus meningkatkan produksi nasional sebagai cara terbaik mengatasi kekurangan kebutuhan dari impor.
Kuba juga perlahan-lahan mulai membuka ekonomi bagi investor dan perusahaan swasta.*