JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut potensi Amerika Serikat (AS) dan Eropa terjerat resesi pada tahun ini sangat tinggi.
Hal ini tercermin dari data inflasi kedua negara utama ekonomi dunia yang melonjak tajam belakangan ini.
Sebagai catatan, inflasi AS tercatat 8,5 persen (year on year/yoy) pada Juli kemarin, turun dibandingkan Juni yang sebesar 9,1 persen. Namun, itu masih jauh di atas inflasi rata-rata AS yang sekitar 2-3 persen.
Begitu juga dengan zona Eropa, inflasinya sebesar 8,6 persen (yoy) pada Juni 2022. Inflasi ini pun tercatat tertinggi sepanjang sejarah.
"AS, Eropa jelas akan menghadapi potensi resesi itu sangat tinggi, kenapa? karena inflasi mereka sangat tinggi," ujarnya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom di Menara Bank Mega, Rabu (7/9).
Menurutnya inflasi yang tinggi ini mau tidak mau akan direspons dengan kenaikan suku bunga oleh bank sentral masing-masing negara itu. Meski sebelumnya kedua negara sempat menahan menaikkan suku bunga karena menilai lonjakan inflasi hanya berlangsung sementara.
"Tadi kita lihat bank-bank sentral di AS dan Eropa masih menunggu dan mereka menganggap inflasi ini temporer karena ada disrupsi karena pandemi, kemudian ada perang, tekanan inflasi berlanjut," kata dia.
Sekarang, mau tidak mau kebijakan menaikkan suku bunga harus dilakukan karena inflasi tak berhenti beranjak sejak akhir tahun lalu. The Fed contohnya sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) pada Juli lalu.
Mengikuti, Bank Sentral Eropa (ECB) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada Juli 2022. Ini adalah kebijakan kenaikan suku bunga pertama kali yang diambil dalam 11 tahun.
"Jadi mau tidak mau ini akan direspons dengan kenaikan suku bunga dan likuiditas yang diketatkan," jelasnya.*