PEKANBARU, Beritaone.id - Perjalanan tahun 2020 dan 2021 lalu menjadi saksi sejarah munculnya fenomena baru terhadap harga TBS (Tandan Buah Segar) petani. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah mandatori B30 akhir tahun 2019, yaitu pencampuran 30 persen CPO (Crude Palm Oil) dengan 70 persen minyak solar yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2020.
Selain itu, strategi memaksimalkan hilirisasi dalam negeri turut mempengaruhi pasar global CPO. Faktor-faktor ini semakin memantapkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Bahkan saat ini Indonesia sudah meninggalkan Malaysia dari segi teknologi dan industri, dimana selama ini Indonesia selalu dibayang-bayangi Malaysia, walaupun diketahui bahwa luas perkebunan sawit Malaysia hanya 34,18% dari total luas sawit Indonesia.
Meskipun sudah meningalkan Malaysia, disayangkan terjadinya penurunan produksi CPO Indonesia sepanjang tahun 2021. Berdasarkan laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton atau turun 0,31% dari capaian 2020 yang sebesar 47,03 juta ton.
Menurut Ketua Umum DPP Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA, Rabu (16/2) di Pekanbaru, produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil /CPO) Indonesia tahun 2022 ini diperkirakan akan sedikit naik, karena tanaman sawit rakyat melalui program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) sejak tahun 2016 sudah mulai berproduksi normal (TM). “Dan saya analisa di tahun 2027 perkebunan kelapa sawit rakyat akan menjadi setara produktivitasnya dengan perkebunan sawit korporasi, dengan rata-rata produksi CPO 5 ton/ha/tahun, dimana saat ini masih berkisar rata-rata 3,42 ton CPO/ha/tahun. Ya, memang masa depan industri sawit Indonesia, berada diperkebunan sawit rakyat,” ujarnya.
Gulat melanjutkan, strategi Indonesia dalam meningkatkan produktivitas total Indonesia kedepannya, harus lebih fokus kepada perbaikan kualitas kebun rakyat dan intensifikasi adalah kata kuncinya. Apalagi, lanjutnya, dengan keterbatasan lahan peruntukan perkebunan sawit saat ini.
“Pemerintah menerapkan UU Cipta Kerja tentang Kehutanan dan Lingkungan yang semakin memaksa para stakeholder sawit untuk memikirkan strategi, bukan ekspansi,” tegas Gulat.
Oleh sebab itu, Gulat berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu memperpanjang moratorium, karena konotasinya tidak baik, lagi pula yang mau dimoratorium pun sudah tidak ada dikarenakan lahan peruntukan sawit sudah dikunci dengan lahirnya UUCK.”Ya bisa saja ada yang APL (Non Kawasan Hutan), namun di UUCK dikunci lagi diperuntukan pola ruangnya dan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil, red) sangat tegas perihal pola ruang ini,” tambah Gulat yang juga pemegang sertifikat Auditor ISPO ini.
Lebih lanjut Gulat menjelaskan bahwa menurut para analis bursa CPO saat ini tidak ada lagi pertambahan luas kebun di Indonesia, yang menjadi salah satu parameternya dalam memprediksi masa depan industri sawit dunia.
Hal ini terlihat dari geliat tender CPO dunia yang sangat progresif mengarah ke positif. Seperti kontrak berjangka minyak sawit mentah (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives ditutup pada level tertinggi RM 5.667 per ton untuk kontrak April 2022, demikian juga tender CPO di Rotterdam, semuanya menunjukan indikasi sangat bergairah.
Pendiri Palm Oil Analytics yang berbasis di Singapura, Sathia Varqa mengatakan, harga melonjak menyusul berita pemotongan bea impor CPO oleh India menjadi 5% dari sebelumnya 7,5%.
“Langkah tersebut diperkirakan akan berdampak pada pengiriman CPO masuk yang lebih tinggi ke India dan ini berefek domino kepada harga global CPO, apalagi konsistennya Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan ekspor CPO Indonesia, ungkap Sathia.
“Sehingga prospek ekspor CPO Malaysia akan meningkat, mendorong harga minyak sawit di bursa berjangka melampaui rekor tertinggi sebelumnya,” ungkapnya sebagaimana dikutip Barnama.(