Petani sawit
BOGOR, Beritaone.id - Pemberlakuan Domestic Market Obligation (DMO)/ Domestic Price Obligation (DPO) minyak sawit mentah (CPO) dan olein oleh pemerintah per 27 Januari 2022 lalu, dirasakan oleh para petani sawit bagaikan banjir bandang yang datang begitu cepat, tiba-tiba dan besar. Apa yang disebut banjir bandang tersebut adalah berupa penurunan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani oleh pabrik kelapa sawit (PKS). Menurut petani Apkasindo dan Samade, penurunan tersebut sampai dengan Rp 1.000 per kg TBS.
Lembaga yang menaungi para akademisi, peneliti dan dosen untuk isu sektor perkebunan kelapa sawit di sejumlah perguruan tinggi, Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) Kalimantan Selatan, yang berdampingan langsung dengan petani sawit rakyat mengemukakan bahwa kebijakan DMO 20% tidak mampu memenuhi kebutuhan pabrik minyak goreng sawit dan biodiesel yg hampir menyerap lebih dari 30% produksi CPPO nasional. Sangat tidak adil jika DPO dibebankan kepada TBS sawit petani yang mewakili 40% luas kebun sawit nasional.
“Kalau itu benar-benar terjadi MAKSI mengharapkan hanya sebatas kejutan (shock) kemudian harga TBS petani sawit naik lagi, setelah semua pihak melakukan kalkulasi ulang dengan cepat,” kata Ketua Umum MAKSI, Darmono Taniwiryono,Minggu (30/1/2022).
lebih lanjut kata Darmono, merujuk kalkulasi yang telah dilakukan, penurunan harga TBS sawit paling besar sebanyak Rp. 250 per kg. Kalau hal ini bukan kejutan tetapi bila berkepanjangan berarti malapetaka bagi petani sawit yang sejak 1980-an terposisikan sebagai penjual TBS sawit. “Pasca kebijakan ini pemerintah harus mampu megendalikan harga pupuk untuk petani sawit yang saat ini naik seiring dengan kenaikan harga TBS sawit,” ungkap Darmono.
kata Darmono, kebijakan yang dapat berdampak negatif ini sangat ironis karena setiap MAKSI melangkah melakukan kajian ilmiah selalu ditantang "apa yang bisa disumbangkan oleh dunia riset untuk petani?". Namun di saat para peneliti berorientasi menghasilkan terobosan-terobosan baru untuk kesejahteraan petani, justru nasib petani sering tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan.
Permasalahan perdagangan bahan baku sawit ada kemungkinan tidak berada di bawah radar Kementerian Perdagangan. Tidak seperti bahan pangan lainnya. Jangan-jangan ini karena secara intensif ditangani oleh Kementerian Pertanian dari hulu sampau pabrik kelapa sawit (PKS). “Fakta di lapangan seperti itu, dinas pertanian/perkebunan yang terlibat dalam penentuan harga TBS. Apakah ini yang melatarbelakangi terjadinya kebijakan DMO/DPO yang kurang ramah petani sawit? Ini perlu dilakukan kajian oleh para pakar di MAKSI,” katanya.
Diakui Darmono, dirinya sudah lama mengamati fenomena jungkir baliknya harga TBS petani sawit dan menyarakan agar petani bisa produksi CPO sendiri. Resikonya lebih kecil daripada jualan TBS sawit, karena kalau melesetnya tidak bisa jual CPO yang standar, petani sawit bisa jual palm acid oil (PAO) atau industrial palm oil (IVO). Momentum ini harus dapat digunakan sebagai cambuk bagi seluruh petani sawit di Indonesia untuk merubah posisinya dalam rantai pasok sawit tersebut.
“MAKSI pun saat ini sedang menjajagi penggunaan teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan swasta untuk produksi CPO/PAO/IVO sawit rakyat,” tandas Darmono.